Masih Terganjal Masalah Cuaca
BELUM meratanya penggunaan serat optik atau alat transmisi lain
untuk menyalurkan data, disebut-sebut menjadi penyebab belum
terwujudnya jaringan transmisi data kecepatan tinggi.
Kabel tembaga biasa dan kabel koaksial yang menghubungkan bangunan
ke sistem telepon atau televisi kabel tidak mempunyai kapasitas
gigabit-per-detik untuk menyalurkan data. Sementara penggunaan
serat optik terlalu mahal biaya instalasinya (antara US$100 ribu
dan US$500 ribu untuk jarak sekitar 1 kilometer). Akibatnya,
hanya dua sampai lima persen jaringan nasional terpasang di Amerika
Serikat.
Banyak teknologi transmisi data kecepatan tinggi tanpa serat
optik yang diluncurkan, termasuk radio microwave, digital subscriber
lines dan modem kabel. Tapi, yang dinilai lebih besar kemungkinan
suksesnya adalah teknologi free-space optics (FSO). Sejak ditemukan
di era 1970-an, FSO mengandalkan pada transceiver laser inframerah
berkekuatan rendah yang mampu menyalurkan data gigabit per detik.
Laser inframerah ini beroperasi pada jalur frekuensi elektromagnetik
tanpa izin yang cukup aman untuk mata. Tapi sayangnya, jangkauan
laser terbatas. Sesuai kondisi cuaca, jaringan FSO dapat meliputi
area sampai satu kilometer. Untuk mengatasi cuaca buruk, tiap
transceiver optikal dapat dikoneksikan dengan transceiver lain
dan membentuk jaringan. Cara ini dapat menjamin tersiarnya data
dari pusat ke seluruh area.
Peralatan FSO komersial sekarang dapat menyebarkan data dengan
jumlah lebih besar dibanding subscriber lines atau kabel koaksial,
yaitu antara 10 megabits sampai 1,25 gigabits per detik, jumlah
yang cukup untuk kebanyakan aplikasi dan layanan broadband. Diode
laser bahkan bisa lebih mempertinggi penyaluran data yaitu sampai
9,6 gigabits per detik. Walau alat itu belum diadaptasi untuk
penggunaan FSO, sistemnya dapat menyiarkan gelombang optik sampai
100 triliun per detiknya.
Biaya sistem FSO juga dapat lebih murah sepertiga sampai sepersepuluh
dari biaya instalasi serat optik di bawah tanah. Kalau cara menggali
butuh waktu enam sampai 12 bulan, jaringan FSO dapat dipasang
hanya dalam hitungan hari. Tak heran makin banyak perusahaan
yang mengembangkan teknologi FSO. Kalau sesuai dengan yang diprediksikan,
perusahaan riset Strategis Group yang dikutip Sciam.com menyatakan
industri ini dapat tumbuh dari nilai US$120 juta tahun 2000 menjadi
lebih dari US$2 miliar di tahun 2006.
FSO memanfaatkan teknik dan peralatan yang semula diciptakan
untuk sistem kabel fiber optik. Sinyal data dikirim dari transmitter
laser di atap bangunan. Efisiensi pengirimannya diperkuat dengan
memaketkan data sehingga bisa dikirim secara individual. Sebagai
tambahan, FSO dapat mendukung teknik wavelength division multiplexing
(WDM) sehingga satu jalur optik membawa sampai puluhan kanal
sinyal yang berlainan.
Terhalang kabut
Halangan dari kabut telah memperlambat penerapan sistem FSO secara
komersial. Kabut, hujan, dan salju dapat membatasi jangkauan
maksimum dari jaringan FSO. Misalnya pada kabut yang lumayan
tebal, sinyal optik bisa kehilangan 90% kekuatannya untuk tiap
jarak 50 meter. Jadi, jaringan FSO harus didesain supaya bisa
menembus kondisi kabut tersebut.
Masalah lainnya adalah ketersediaan jaringan. Kalau teknologi
FSO dipakai untuk jaringan korporat (misalnya menghubungkan dua
kantor perusahaan yang terletak dalam gedung yang terpisah),
99,9% uptime bisa diterima. Artinya, hanya terjadi sekitar sembilan
jam kekosongan untuk periode setahun. Tapi, pada layanan ke publik,
diperlukan ketersediaan jaringan sampai 99,999% atau hanya terjadi
sekitar lima menit kekosongan selama satu tahun.
Untuk memecahkan masalah ini, sistem FSO dapat dibuat terbatas
jangkauannya dan membentuk jaringan 'sarang laba-laba' sehingga
bangunan yang jauh pun terjangkau. Dalam jaringan ini, bangunan
yang paling dekat dengan terminal fiber optik diperlengkapi semacam
'sambungan' FSO untuk dikoneksikan ke bangunan lain.
Saingan free-space optics adalah radio mikrowave point-to-point.
Teknologi ini tidak terhalang oleh kabut. Kelemahannya, perlu
izin untuk mengoperasikan kebanyakan jalur radio, lalu spektrum
yang tersedia pada jalur cukup terbatas sehingga kapasitasnya
pun berkurang.
Radio mikrowave ini dari sudut biaya lebih mahal dibanding sistem
FSO dan ada kemungkinan mengalami gangguan transmisi. Lebih jauh
lagi, radio mikrowave cenderung mengalami gangguan sinyal selama
hujan lebat, terutama pada frekuensi-frekuensi tinggi yang menyediakan
lebih banyak spektrum.
Bila radio mikrowave dioperasikan pada frekuensi 60 gigahertz,
teknologinya mampu menjadi pelengkap free-space opics. Komisi
Komunikasi Federal (FCC) di Amerika Serikat baru-baru ini telah
mengalokasikan beberapa spektrum non-izin pada jalur 60 GHz bagi
aplikasi berkecepatan tinggi.
Semakin banyak alokasi spektrum di 60 GHZ mengimplikasikan semakin
banyak kapasitas yang tersedia dan skema modulasi yang lebih
sederhana serta lebih murah dapat dipakai. Karena hujan lebat
(sebagai penghalang jaringan radio) dan kabut tebal (penghalang
untuk sistem FSO) tidak pernah terjadi bersamaan, ada kesempatan
untuk mempertinggi kemampuan jaringan dengan mengombinasikan
radio 60 GHZ dan FSO. Penyatuan kedua teknologi ini berarti sistem
yang dihasilkannya akan lebih bisa diandalkan pada jarak yang
semakin jauh juga.
Kamis, 04 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar